Catatan Komisi Rusuh, Pemilu Pun Terancam. Pekan lalu Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu DPR, mewacanakan rencana akan dimasukkannya wakil partai politik sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum.
![]() |
| Hanibal Wijayanta |
Pekan lalu Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu DPR, mewacanakan rencana akan dimasukkannya wakil partai politik sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum.
Usul ini muncul setelah anggota Pansus RUU Pemilu ngelencer sambil studi banding ke Jerman. Anggota KPU di Jerman terdiri dari delapan orang berlatar belakang partai politik, dan dua orang hakim sebagai pengawal bila muncul permasalahan hukum.
Menurut Wakil Ketua Pansus Yandri Susanto, keterlibatan orang partai di dalam KPU ini untuk meminimalisir kecurangan pemilu. “Masa, 'lu nyurangin saya, sayanya ada lho di situ'. Daripada katanya dicari-cari yang sok independen ternyata bisa dibeli,” ujar politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu, di Senayan, pekan lalu.
Usul Pansus RUU Pemilu langsung menuai pro dan kontra. Partai-partai kebanyakan setuju, sementara berbagai LSM dan tokoh masyarakat menentang. Salah satunya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Titi menilai usul Pansus RUU Pemilu adalah langkah mundur. “Penyelenggara pemilu 1999 yang terdiri dari perwakilan anggota partai politik peserta pemilu ditambah perwakilan pemerintah justru menimbulkan banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu,” kata Titi sehari kemudian.
Memang, untuk menyelenggarakan Pemilu tahun 1999, pemerintah Presiden BJ Habibie membentuk KPU beranggotakan wakil pemerintah dan wakil partai politik. Karena pemilu 1999 diikuti 48 partai, maka 48 komisioner KPU berasal dari partai politik, ditambah lima komisioner dari pemerintah. Total, komisioner KPU saat itu berjumlah 53 orang, dipimpin mantan Menteri Dalam Negeri Rudini sebagai Ketua. Namun ternyata mengelola 53 kepala perlu upaya dan tenaga yang luar biasa. Berbagai kelucuan maupun masalah terjadi, termasuk rekayasa rapat tak mencapai quorum, deadlock, ancam-mengancam, hingga dugaan korupsi.
Keanggotaan KPU kemudian diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pemilu. Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2000 diatur bahwa "Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan nonpartisan." Dengan aturan itu, komisioner KPU tidak lagi diisi unsur partai dan pemerintah. Mereka dipilih dalam sebuah proses seleksi.
Para komisioner tahun 2001 - 2007 beranggota para akademisi. Tapi KPU 2001 - 2007 ini bukan tanpa masalah. Ketua KPU dan beberapa komisioner tersandung kasus korupsi. Begitu pula para akademisi yang menjadi Komisioner tahun 2007 – 2012. Masalah yang disoroti adalah soal independensi dan kecenderungan pemihakan kepada petahana. Apalagi beberapa bekas anggota KPU lalu merapat ke partai Demokrat. Komisioner KPU 2013 hingga kini juga banyak dikritisi soal independensi. Beberapa di antara mereka dianggap cenderung dekat dengan salah satu calon presiden yang kemudian terpilih. Jadi semua ada risikonya.
Nah, sebagai gambaran tentang apa yang terjadi dan dilakukan oleh para komisioner KPU tahun 1999, saya akan membagikan tulisan lama saya saat masih menjadi Penanggung Jawab Rubrik Nasional di Majalah Forum Keadilan tahun 1999. Ini sekadar gambaran tentang betapa repotnya mengelola 53 kepala dengan 48 orang berlatar belakang partai yang beraneka ragam ideologi dan kecenderungannya. Lain waktu insyaa Allah saya share juga apa yang terjadi dan dilakukan para komisioner KPU berikutnya…
Silakan…
===
Komisi Rusuh, Pemilu Pun Terancam...............
Menjelang babak akhir pemilihan umum, KPU diguncang kontroversi. Sementara pengumuman hasil akhir pemilu molor, berbagai skandal keuangan terungkap, pertikaian terbuka antar anggota KPU pun terjadi. Benarkah ada skenario untuk membatalkan hasil pemilu?
Menit-menit terakhir menjelang pertandingan berakhir selalu menjadi sangat menegangkan. Apalagi jika para pemain mulai memperlihatkan kecurangan dan permainan kasar. Soalnya, bisa saja pertandingan berakhir fatal. Hal itu pula yang terjadi di KPU pekan terakhir ini. Gara-gara permainan oknum-oknumnya, kericuhan melanda lembaga penyelenggara pemilu itu.
Memang, persoalan yang menyangkut dua anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Mallarangeng dan Adnan Buyung Nasution dengan kolega-koleganya telah dianggap selesai. Namun, jangan dikira potensi kericuhan telah mengendap. Justru dengan semakin terbukanya berbagai skandal keuangan hingga penghitungan suara, hasil pemilu pun bisa dibatalkan.
Sejak semula, soal penghitungan suara memang menjadi masalah, karena prosesnya begitu berlarut-larut. Bahkan Minggu malam 20 Juni, sehari menjelang jadwal pengumuman akhir resmi dari pemerintah, baru data dari 4 PPD yang masuk ke KPU. Namun mengingat waktu yang telah dijadwalkan tinggal keesokan harinya, PPI tetap mengundang seluruh pimpinan parpol ke KPU.
Dalam rapat itu, Ketua PPI Jacob Tobing menjelaskan tentang keterlambatan data suara dari beberapa propinsi. Konon hal itu banyak disebabkan karena beberapa partai tidak mau menandatangani berita acara yang harus dikirim ke PPI gara-gara isu kecurangan. Di Jawa Tengah misalnya, masih ada 5 parpol yang belum mau menanda tangani. Kasus yang sama seperti terjadi di DKI Jakarta.
Karena berbagai kesulitan itu PPI meminta KPU memberikan toleransi. Padahal, menurut Hasballah M Saad, anggota KPU dari PAN, PPI berhak memutusakan pengunduran waktu penghitungan ulang hari ini. Akhirnya, masalah ini diambil alih Rudini. “KPU baru bisa mengambil keputusan toleransi waktu dan agenda penghitungan suara dalam rapat pleno KPU, Selasa besok,” ujarnya.
Padahal pada saat yang sama, JOMC telah mengakhiri kegiatannya dan sudah menghitung nyaris 100%. Tapi menurut Rudini, data JOMC itu tidak bisa dipegang sebagai data final, namun hanya sebagai data pembanding. Soalnya PPI dan KPU baru bisa mengakui perhitungan resmi, sesudah semua laporan masuk ke PPI.
Nah, untuk menindaklanjuti berbagai masalah kecurangan, KPU membentuk Tim Investigasi Kecurangan beranggotakan 11 orang yang diketuai Benny Fatah (PBN). Rapat pleno saat itu lalu memutuskan untuk membahas masalah apa yang harus diklarifikasi tim investigasi kecurangan.
Belum lagi masalah penghitungan akhir tuntas, masalah baru muncul. Selasa malam, dalam acara detak-detik Pemilu yang dipandu Wimar Witoelar Buyung menjawab pertanyaan penelpon yang mempertanyakan nasib partai-partai gurem yang mendapatkan suara kurang dari 2 persen. “Mereka sebaiknya keluar dari KPU,” ujarnya. Pernyataan itu diamini Andi Mallarangeng di Kompas, keesokan harinya. Saat itu suasana sudah mulai memanas.
Rapat pleno KPU hari Rabu dimulai sekitar pukul 10.45. Saat itu hanya 27 orang wakil parpol yang hadir --minus parpol besar-- dan 4 anggota KPU wakil dari pemerintah. Dalam rapat yang dipimpin Rudini itu mereka akan mendengarkan laporan anggota KPU mengenai kecurangan dan penyelewengan penyelenggaraan Pemilu di berbagai daerah.
Belum lagi Rudini selesai mengetuk palu, Clara Sitompul dari Partai Krisna yang membawa tentengan foto kopi berita Kompas mau angkat bicara. Tapi RO Tambunan lebih dahulu menginterupsi. Menurutnya pernyataan Buyung dan Andi Mallarangreng itu sangat tidak fair. Karena itu mereka meminta agar Rudini mengusulkan ke Pemerintah agar dua orang wakil pemerintah itu dipecat.
Rudini masih mencoba bersabar dengan mendengarkan duduk persoalannya. Namun beberapa anggota KPU lainnya mulai meradang. Agus Miftach, (PARI), Saut H Aritonang (PPI) dan Hadidjojo (Murba) mulai beranjak meninggalkan ruangan. Di belakangnya beberapa anggota KPU wakil Parpol tampak mengikuti. Kejadian ini mengagetkan puluhan wartawan. Suasana menjadi ramai dan hiruk pikuk.
Agus, Soekarnotomo (PIB) dan Saut secara bersahut-sahutan melontarkan pernyataan pedas. “Keluar kau atau rapat saja berdua di dalam,” kata Agus. Ia lalu menyatakan bahwa mereka tidak akan kembali kalau kedua orang ini tidak keluar. Uniknya, beberapa anggota parpol besar seperti Mahadi Sinambela dari Golkar pun ikut keluar menjinjing tas hitamnya sembari tertawa terbahak. “Kita kan harus solider sama temen,” ujarnya.
Di dalam ruangan, suasana masih terlihat tegang. Rudini duduk terdiam melihat situasi. Ia duduk tanpa bersandar, sesuatu yang tak biasa jika Rudini memimpin sidang. Andi dan Buyung kemudian menghampirinya, disusul kemudian Adi Andojo.
Sekitar pukul 11.20, ketika meja sidang nyaris kosong oleh anggota KPU, Andi dan Buyung dengan tergesa-gesa dan sedikit berlari keluar ruangan rapat pleno KPU. Melihat hal itu, spontan Agus dan kawan-kawan pun berteriak mencemooh. Bahkan konon Bambang Sulistomo (PADI) sibuk mengambil gambar dengan Handycamnya, sementara Sutradara Gintings (PKP) mencibir. “Keluar kau,” ujarnya.
Rudini akhirnya meminta semua kembali bersidang. Sementara itu, ia ke ruangannya untuk berdialog dengan Andi dan Buyung. Empat puluh menit kemudian, sidang dilanjutkan, tanpa kehadiran Andi dan Buyung. Dalam rapat itu diusulkan agar Rudini menyurati Presiden Habibie dan Mendagri Syarwan Hamid agar Buyung dan Andi segera ditarik dari KPU. Pasalnya, keduanya adalah wakil pemeirntah yang dikukuhkan dalam Keppres.
Rapat selesai pukul 12.30. Rudini lalu mengelar keterangan pers. Sebuah surat untuk Presiden Habibie konon tengah disiapkan untuk menanyakan apakah Habibie sudah mengambil keputusan soal anggota KPU yang partainya belum meraih suara 2 persen. Selain itu, “KPU meminta agar kedua anggota itu Buyung dan Andi ditarik dari KPU dan diganti orang lain sebagai pengganti,” ujarnya.
Usai rapat, Rudini lantas bergegas ke Depdagri menemui Mendagri Syarwan Hamid dan menyampaikan putusan itu secara lisan. Rabu malam itu juga, Syarwan dan Dirjen PUOD Ryass Rasyid bertemu Habibie untuk berkonsultasi tentang hal ini. Maklum, posisi Buyung dan Andi sangat diperlukan pemerintah. “Apalagi, Buyung juga dipandang sebagai orang dekat klik Hariman dan Fanny Habibie,” ujar seorang sumber FORUM.
Keesokan harinya, Kamis (24/3) Rudini kembali memimpin pleno. Namun hari itu juga muncul pernyataan Andi dan Buyung bahwa komentar mereka hanya mendasari pernyataan Rudini beberapa waktu lalu. Dalam pleno itu dibicarakan pula bahwa masalah ini tak bisa berlarut-larut. Rudini kerap kali harus keluar masuk ruangan dan mondar mandir ke ruangannya ke aula besar --- tempat ruang sidang. Hanya sekedar untuk menjembatani apakah bisa terjadi dua dialog antara dua kelompok ini.
Namun pukul 11.30. ketika para anggota KPU melakukan sidang pleno, Rudini meminta sidang diskors 5 menit dan meminta beberapa nggota KPU -- RO Tambunan, Clara Sitompul, Agus Miftach dan Sri Bintang-- bertemu dengannya. Ia lalu menyampaikan permintaan Buyung dan Andi untuk berbicara dengan mereka. Mereka setuju berbicara, namun dengan catatan bahwa soal kedua wakil pemerintah itu bisa ikut sidang lagi tidak bisa dibicarakan karena hal itu merupakan kesepakatan anggota KPU yang lain yang tidak bisa diwakilkan.
Rencana pertemuan mereka akan berlangsung setelah jeda makan siang. Yaitu sekitar pukul 12.00 WIB. Akan tetapi, waktu molor hingga 12.30. Karena itu, ketika giliran Bintang ngomong, kedua wakil pemerintahan itu mendobrak masuk ruang sidang diikuti banyak wartawan. Suasana menjadi gaduh dan ketua KPU menyatakan sidang diskors hingga jumat jam 09.00.
Sekitar pukul 13.00 Andi dan Buyung bertemu dengan RO Tambunan, Agus Miftach dan Sri Bintang di ruang kerja Rudini. Sekitar 30 menit kemudian, belasan anggota KPU yang lain masuk. Dalam pembicaraan itu akhirnya dicapai kesepakatan bahwa berdamai dan menuntaskan semua agenda KPU yang belum selesai. “Mereka setuju menyelesaikan laporan tentang pelanggaran kecurangan Pemilu terlebih dahulu sebelum perhitungan suara dilakukan,” kata Sri Bintang kepada Yus Ariyanto dari FORUM..
Kejadian ini tampaknya merupakan puncak perseteruan antara Andi Mallarangreng dengan partai-partai gurem sejak beberapa waktu lampau. Soalnya, dalam berbagai kasus –seperti soal dana partai satu milyar, fasilitas anggota KPU, audit partai dan lain-lain—Andi dianggap sok tahu, ‘belagu’ dan tengil. Sementara menurut Andi sikap kritisnya adalah hal yang wajar untuk menegakkan demokrasi.
Di sisi lain, masyarakat malah mencurigai perlawanan partai-partai gurem itu semata-mata karena kekecewaan akibat kalah dalam pemilu. Tujuannya konon untuk membatalkan hasil pemilu. Namun, menurut Bintang, pernyataan berbagai pihak yang menyatakan bahwa partai kecil bermaksud mengagalkan Pemilu adalah bagian dari sebuah grand strategy.
Soalnya ada pula dugaan yang patut dipertimbangkan masyarakat. “Ada usaha-usaha untuk mengabaikan catatan kecurangan dan pemberian sanksi terhadap pelanggar,” kata Mustafa Kamal dari Partai Keadilan. Walhasil, partai besar pemenang pemilu yang melakukan berbagai kecurangan, bisa lolos begitu saja tanpa mendapatkan sanksi.
Memang, persoalan dua persen telah dianggap selesai. Tapi, jangan dikira potensi kericuhan telah mengendap.
Hanibal W Y Wijayanta dan Widiarsi Agustina
===
Box 13fut1
Soal Yang Dua Persen Itu
Sejak penghitungan hasil pemilu mendekati babak akhir, ketentuan soal batas perolehan minimal 2 persen suara jadi ramai dibicarakan. Padahal, ketika UU itu dibahas menjelang dimulainya proses pemilihan umum, masalah ini hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian besar partai-partai politik. Tampaknya saat itu mereka yakin bakal melewati batas minimal itu.
Dalam draft awal RUU Pemilu, batas minimal sebuah partai masih diperbolehkan mengikuti pemilu berikutnya sebenarnya akan ditetapkan sebesar 5 persen. Ketentuan ini mencontoh sistem Jerman. Tapi angka sebesar itu masih dianggap terlalu tinggi. Karena itu Partai Persatuan Pembangunan menawarnya menjadi 1 persen. Setelah dilakukan negosiasi, maka disepakatilah angka 2 persen itu. “Mereka percaya bisa lewat 2%,” kata anggota KPU Andi Alfian Mallarangeng. Penetapan angka ini persis seperti yang dilakukan di Taiwan.
Maka jadilah ketentuan yang tercantum dalam pasal 39 ayat 3 itu berbunyi : Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2 % (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau 3 % (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah propinsi dan di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.
Sementara itu dalam ayat 4, disebutkan bahwa : Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.
Ketentuan ini sebenarnya wajar-wajar saja diterapkan dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Meski sistem multi partai dan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dijamin, namun pengaturan tetap diperlukan. “Agar dapat terseleksi partai-partai yang memiliki dukungan signifikan dalam masyarakat,” kata Dirjen PUOD Ryaas Rasyid. Bahkan di Swedia batasan itu sampai 8 persen.
Di beberapa negara, selain batas angka perolehan suara minimal, uang jaminan dan tanda tangan pun bisa jadi pembatas. “Di Filipina misalnya ada syarat kalau kurang dari 1%, uang jaminannya hangus,” kata Andi. Menurut pengamat politik dari UI, Arbi Sanit, ketentuan ini memang untuk membatasi jumlah partai. “Supaya tidak membludak,” ujarnya.
Namun, belakangan ketika kenyataan telah terpampang didepan mata, mulailah masalah itu menjadi ganjalan. Soalnya, dari 48 partai peserta pemilu, hanya 7 partai yang telah pasti bisa melampaui batas 2 persen, masing-masing PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dan PK. Sisanya harus bersiap-siap untuk pamit mundur dari gelanggang.
Tapi mereka tak gampang menyerah. Ketua Umum PARI Agus Miftach misalnya. Ia ngotot meminta agar UU yang dinilainya tak adil itu direvisi segera. Ia beralasan bahwa di negara lain saja –entah di mana—aturan itu baru bisa diterapkan setelah dua kali pemilu. Padahal menurutnya saat ini kondisi Indonesia tidak normal. “Karena itu tidak mungkin partai-partai yang baru berumur 6 atau 4 bulan, ndak dikasi uang, disuruh pemilu melawan gajah-gajah,” ujar Agus.
Rupanya Agus lupa bahwa PAN yang juga seumur dengan partainya, mampu meraih suara lumayan. Bahkan Ketua Umum PAN Amien Rais malah menilai batasan 2 persen itu terlalu longgar. “Setahu saya di negara-negara demokrasi, partai yang kurang dari 5 persen itu sebaiknya memang membubarkan diri,” ujarnya kepada FORUM.
Tapi belum lagi soal membubarkan diri, soal tidak ikut lagi dalam pemilu mendatang pun sudah menjadi masalah. “Soalnya prospek untuk lima tahun ke depan juga nggak ada,” kata Arbi. Sementara itu, keanggotaan wakil-wakil partai gurem itu di KPU pun dipermasalahkan. Karena itu menurut Arbi, mereka kini mengkhawatirkan hilangnya secercah kekuasaan yang mereka miliki.
Padahal di berbagai negara yang menganut sistem demokrasi, anggota KPU juga tidak terlalu banyak. Di Amerika Serikat misalnya anggota KPU hanya dua orang, sedangkan di Filipina hanya ada lima orang.
Nah, sebenarnya jika mau bersabar, meski tahun 2004 tak boleh ikut pemilu, tahun 2009 mereka boleh saja ikut pertandingan. Atau kalau memang sudah ngebet benar, mereka pun bisa melakukan merger dengan partai lain atau membentuk partai baru. “Itu boleh-boleh saja,” kata Andi.
Hanibal W Y Wijayanta, Teguh S Usis dan Deddy Hermawan.

COMMENTS